BADAI KRISIS YANG MENGHANCURKAN POTENSI PEREMPUAN

Standar

Oleh: Dian Septi Trisnanti

“Krisis hari ini sudah menghancurkan kehidupan mayoritas rakyat miskin dunia, terutama kaum perempuan dan anak muda. Dampak utama krisis kapitalisme bagi perempuan dan kaum muda kini adalah semakin minimnya lapangan kerja, semakin rendahnya daya beli, angka kemiskinan terus meroket, bertambahnya angka kematian ibu dan jutaan lagi anak muda harus bersiap kehilangan masa depannya.”

Perempuan dan Anak Muda: Korban Utama Krisis

Kapitalisme dengan wajah pasar bebas sudah GAGAL. “Trickle Down Effect” yang katanya bisa menyejahterakan rakyat, ternyata BOHONG. Sebaliknya, krisis malah menjadi mimpi buruk kapitalisme dan bencana rakyat di dunia.

Krisis kapitalisme saat ini, dipicu oleh kredit macet yang dialami oleh berbagai Bank–Bank di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kredit macet itu sendiri adalah dampak dari kemudahan pinjaman oleh Bank-Bank pada nasabah di bawah standar, yang disebut dengan istilah Subprime Mortgage. Ketika para nasabah tak sanggup pagi membayar pinjamannya, maka kredit macet tak terhindarkan; Bank-Bank pun lantas merugi, bahkan terpaksa dilikuidasi.

Krisis kali ini, dinyatakan oleh banyak kalangan sebagai krisis terparah pasca Great Depression tahun 1930. Para Kapitalis keuangan akhirnya menanggung akibat dari kerakusannya sendiri, yang selama ini mengeruk untung hanya dengan berjudi di pasar saham. Menanamkan modalnya di pasar keuangan, bagi para pemilik modal, jauh lebih menguntungkan dari pada menanamkannya di sektor riil.

Tidak mengherankan, karena sudah lama sektor riil/sektor produktif tak lagi menguntungan para kapitalis. Karena sudah sejak lama pula daya beli rakyat dunia menurun; barang banyak, tapi rakyat tidak punya daya beli (pendapatannya terus menurun). Inilah krisis overproduksi yang akan terus dialami oleh kapitalisme karena menghisap tenaga dan merampok hasil kerja kaum buruh.

Beberapa perusahaan-perusahaan besar dunia akhirnya bangkrut, yang terbaru adalah ambruknya perusahaan Software terbesar di Inggris, Autonomi . Sementara Presiden AS, Barrack Obama terpaksa memberikan subsidi bagi pengangguran di AS (saat ini pengangguran AS mencapai 10,2 juta orang dan merupakan angka tertinggi selama 10 tahun terakhir) untuk mempertahankan daya beli. Tentu saja, kebijakan Presiden Kulit Hitam pertama AS ini tidak bakal berlangsung lama, karena Kapitalisme sendiri tidak mungkin sanggup terus menerus memberi subsidi bagi para pengangguran. Pengangguran, dalam sistem kapitalisme, bahkan diakui oleh ekonom Kapitalisme, JM.Keynes, sebagai kenyataan yang tak terhindarkan, karena itu membutuhkan bantuan Negara untuk mengatasinya . Akhirnya, tiada jalan lain bagi negara-negara imperialis untuk terus menghisap negeri dunia ketiga, untuk sanggup bertahan hidup.

Di sisi lain, rakyat miskin dunia terpaksa menanggung beban dari krisis yang dihasilkan oleh para tuan pemilik modal. Para pemilik modal mereguk untung, jutaan rakyat miskin dunia mendapat imbasnya. Berdasarkan data ILO, tingkat pengangguran pada tahun 2008 lebih banyak jika dibandingkan tahun 2007.

Akibat krisis, pengangguran massal dunia juga diprediksi akan terus memuncak . Dalam kasus ini, pada tahun 2008, jumlah perempuan yang menjadi pengangguran meningkat menjadi 6,38%. Angka tersebut lebih banyak 5,8% dibandingkan lelaki, terlebih lagi pengangguran muda, yang bertambah sekitar 0,4% di tahun yang sama. Sehingga tidak perlu heran jika setelah selesai kuliah, banyak anak muda semakin susah mencari pekerjaan dan terpaksa menganggur.

ILO juga mencatat anak muda memiliki lebih sedikit kesempatan kerja. Di negeri-negeri dunia ketiga Asia, peningkatan pengangguran lebih tinggi 7,2 juta orang atau meningkat sebanyak 5,1% dengan komposisi terbesar adalah perempuan. Selain itu, krisis sudah membuat banyak orang mengalami depresi. Terlihat dari tingginya angka bunuh diri di berbagai negara karena kehilangan pekerjaan, kondisi ekonomi keluarga yang hancur, dan masa depan yang makin terhempas. Pemerintah Negara Korea Selatan terpaksa menutup akses menuju rel kereta api untuk mencegah kasus bunuh diri yang kian marak. Korea Selatan dan Jepang merupakan Negara dengan tingkat rata-rata bunuh diri tertinggi, yakni, 24.8 and 24 per 100.000 orang, diikuti Belgia sebesar 21.3 per 100.000 orang, dan Finlandia sebesar 20.35 per 100.000 orang. Sementara Amerika Serikat tercata 11.1 per 100.000 orang .

Fenomena-fenomena tersebut cukup memberi gambaran bahwa krisis telah menghancurkan segala sendi kehidupan. Pastinya, mayoritas negeri yang paling terkena dampak krisis adalah negeri-negeri dunia ketiga, yang selama ini dijadikan sumber bahan mentah dan dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja murah, dan pasar untuk menyerap baran-barang negara kapitalis maju: demi keuntungan para pemilik modal belaka.

Hancurnya potensi perempuan dan kaum muda akibat krisis kapitalisme ini dijawab dengan solusi yang sudah usang dan kuno, yakni campur tangan negara, melalui dana talangan untuk para pemodal—dana yang sebenarnya berasal dari uang rakyat. Negara dunia ketiga didorong untuk terus bersandar pada kebijakan Neoliberalisme. Meski kebijakan itu sudah terbukti gagal mengatasi krisis, namun penguasa di negeri-negeri dunia ketiga tetap melaksanakannya sebagai wujud keberpihakan mereka pada sistem kapitalisme.

Di Indonesia, SBY-JK menerapkan kebijakan Neoliberalisme dalam bentuk pengesahan UU BHP, PB 4 Menteri, Perda-perda Tibum, mengandalkan utang luar negeri dan privatisasi-privatisasi (penjualan asset Negara). Faktanya, kebijakan semacam itu tidak berhasil mengeluarkan rakyat Indonesia dari krisis, tapi sebaliknya, malah semakin mematikan tenaga produktif rakyat Indonesia, terutama perempuan. Tidak ada kebijakan untuk meningkatkan tenaga produktif perempuan, seperti pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai dan gratis, kebijakan untuk menurunkan angka buta huruf perempuan, atau lapangan pekerjaan produktif.

Agar bisa keluar dari kubangan krisis, sebenarnya ada beberapa alternatif lain, yakni pembangunan industri nasional. Tanpa industrialisasi nasional, mustahil bakal terbuka lapangan kerja. Tidak bisa lagi mengandalkan jalan keluar seperti yang dilakukan pemerintah di negara-negara dunia ketiga pro imperialis selama ini, yakni, membuka seluas-luasnya eksploitasi modal asing di dalam negeri tanpa membangun sektor produktif. Akibatnya, hampir seluruh kekayaan alam dikuasai asing dan tentu saja hanya untuk kepentingan pemilik modal, bukan kepentingan rakyat.

Keluar dari Krisis: Ayo Belajar dari Amerika Latin

Negara Amerika Latin, seperti Venezuela, yang menolak resep neoliberalisme terbukti sanggup mengatasi krisis yang mengancam keberlangsungan ekonomi di hampir seluruh dunia. Dalam situasi krisis, angka pengangguran justru berkurang di Venezuela. Tingkat pengangguran pada bulan Januari 2009 mencapai 9.5% . Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan angka pada awal tahun 2008, meski angka itu pun lebih tinggi dari tingkat pengangguran bulan Desember 2008. Venezuela juga sanggup mengontrol laju inflasi. Hal itu ditunjukkan dengan tingkat inflasi di bulan Februari yang menurun menjadi 1.3% dari 2.3% pada bulan Januari 2009.

Tingkat rata-rata pengangguran bulan januari 2009 tersebut jauh lebih rendah 16,6% dibandingkan tingkat pengangguran pada bulan Januari 1999. Keberhasilan Venezuela menekan angka pengangguran, tidak lepas dari kebijakan pemerintah Hugo Chavez yang mengambil alih industri minyak di akhir tahun 2002 lalu. Kini, Venezuela bahkan sedang berusaha menekan laju inflasi hingga 15% dan berencana mempertahankan program sosialnya, yakni memberikan stimulus kepada usaha kecil dan menengah serta investasi di bidang infrastruktur dan sektor agrikultur. Semua kebijakan itu diarahkan untuk membuka lapangan kerja bagi rakyat.

Sementara untuk meningkatkan kapasitas perempuan agar menjadi mandiri dan merdeka, Venezuela mendirikan berbagai organisasi perempuan yang berfungsi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Artinya, Venezuela tidak hanya menerapkan kebijakan ekonomi anti neoliberal agar rakyat sejahtera (dan perempuan juga sejahtera), tapi juga mendorong partisipasi perempuan.

Institute Meridenian perempuan dan keluarga misalnya, didirikan untuk mencegah dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, memberi penyadaran kesetaraan gender. Ada pula beberapa organisasi perempuan seperti Madres del Barrio (Mothers of the Slum), Mision Amas de Casa (Mission House Wife), and BANMUJER (the Women’s Bank). Semuanya menekankan partisipasi penuh perempuan.

Partisipasi penuh sangat penting dalam membangun potensi perempuan, sekaligus perwujudan konkrit Sosialisme Abad 21. Partisipasi penuh perempuan dibutuhkan untuk memajukan tenaga produktif, termasuk dengan membangun industrialisi nasional sebagai syarat terciptanya kesejahteraan rakyat, terutama perempuan. Sebab, tidak mungkin terwujud pembebasan perempuan di tengah kemiskinan.

Sudah saatnya kita belajar dari Venezuela yang berani melawan Kapitalisme, yang mulai diikuti oleh banyak negara di Amerika Latin—seperti yang dideklarasikan dalam Forum Sosialis Dunia ke 8 baru-baru ini: “Bukan kami yang akan membayar dampak krisis, tapi mereka: sang Tuan Modal Besar”. Itulah tema pertemuan Forum Sosial Dunia di Belem, Amazonia, Brazil, sekaligus menegaskan sikap Negara-negara Amerika Latin terhadap Kapitalisme yang sedang akut .

Dengan berani, Negara-negara Amerika Latin menyuarakan sikap bersama melawan Kapitalisme dan menyodorkan Sosialisme abad 21 sebagai sistem baru, dengan program anti Neo Liberal, termasuk menasionalisasi semua sektor ekonomi dan reformasi konstitusional demokratik. Dengan lebih rinci, forum tersebut memberikan beberapa jalan keluar krisis, seperti: (1) Nasionalisasi sektor Perbankan tanpa kompensasi, di bawah kontrol rakyat, (2) Pengurangan jam kerja tanpa pemotongan upah, (3) Kedaulatan pangan dan energi, (4) Hentikan perang dan cabut pasukan militer dari daerah perang, (5) Kedaulatan dan otonomi atas Hak Menentukan Pilihan Pribadi, (6) Jaminan Hak atas Tanah, teritori, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan untuk semua, (7) Demokratiskan akses atas komunikasi dan pengetahuan.

Belajar dari Amerika Latin maka semakin terang bahwa Kapitalisme memang sudah usang dan harus ditinggalkan, menggantinya dengan suatu sistem ekonomi politik yang adil dan setara; membangun kemandirian rakyat melalui program industrialisasi nasional. Perubahan kapitalisme ini hanya bisa dilakukan dengan perjuangan politik melalui alat perjuangan yang mandiri pula. Oleh karena itu, pembangunan organisasi perempuan sebagai alat perjuangan yang mandiri memiliki makna penting. Dengan pelibatan seluruh massa perempuan dalam mengambil keputusan organisasi, wadah ini sekaligus berfungsi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama perempuan muda, sebagai tenaga penggerak utama perubahan.***

About mahardhikayogyakarta

JARINGAN NASIONAL PEREMPUAN MAHARDHIKA-JOGJAKARTA Keberhasilan gerakan demokratik 1998 dalam menggulingkan rejim Suharto berdampak pada terbukanya ruang demokrasi, termasuk arus informasi tentang kondisi perempuan yang sebenarnya sedang terjadi di Indonesia. Hal ini mendorong munculnya berbagai macam komunitas, kelompok, ormas dan NGO yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Menjamurnya organisasi-organisasi dan komunitas perempuan ini juga terjadi di Jogjakarta, yang disebut-sebut sebagai kota pelajar. Sebagai kota pelajar, Jogjakarta memiliki banyak kampus dengan prosentase jumlah mahasiswa 30% dari seluruh penduduk asli kota Jogjakarta. Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda yang dekat dengan arus informasi dan haus akan ilmu pengetahuan, juga merupakan kaum yang paling cepat mendapatkan informasi tentang isu-isu perempuan. Nampaknya inilah yang mendorong munculnya kelompok-kelompok diskusi lokal kampus yang menjamur mulai tahun 2003. Tersebut diantaranya adalah: - Kupu-Kupu Pemberontak (UPN) - Kelompok Diskusi Perempuan untuk Demokrasi (ATMAJAYA) - Wadah Pembebasan Perempuan (UMY) - Gerakan Perempuan Merdeka (UII) - Gerakan Pembebasan Perempuan (UGM) - Perempuan Bergerak (SANATADHARMA) Menjamurnya organisasi perempuan lokal kampus ini merupakan satu aspek positif bagi perjuangan hak-hak kaum perempuan, namun sayangnya pada waktu itu belum ada satu kesatuan atau jaringan yang dibangun antar kelompok perempuan ini, dan belum ada perspektif untuk mengolah potensi-potensi perjuangan perempuan di masyarakat luas. Evaluasi inilah yang mendorong kelompok perempuan lokal kampus Jogjakarta ikut serta dalam konfrensi nasional I yang diselenggarakan oleh Pokja Perempuan Mahardhika dan konfrensi nasional II, dan resmi menjadi pendiri Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika Jogjakarta. Penggabungan diri dengan JNPM diharapkan mampu membentuk sinergitas gerakan antar kelompok perempuan untuk memaksimalkan perjuangan perempuan, dan sebagai jalur kelompok-kelompok diskusi kampus ini untuk terjun ke masyarakat, karena JNPM merupakan ormas yang berjejaring dan bervisi meluaskan organisasi perempuan lintas sektor. Oleh berbagai dinamikanya, kelompok-kelompok perempuan ini mengalami kemunduran bahan hilang karena tidak ada kaderisasi, apalagi sebagian besar anggota kelompok-kelompok ini sudah lulus Universitas. Kelompok-kelompok perempuan yang mengalami kemunduran itu adalah: KKP UPN, WAPER UMY, GPM UII,GPP UGM, PERAK SANATADHARMA, hanya KDPD ATMAJAYA yang masih bertahan sampai sekarang. Namun menghilangnya beberapa kelompok perempuan di kampus-kampus ini tidaklah menyurutkan dinamika perjuangan perempuan di kampus, karena pada tahun 2007 mulai berkembang kembali kelompok-kelompok dan komunitas perempuan di kampus bahkan meluas ke kalangan pelajar, diantaranya: - Komunitas Studi Perempuan (UNY, UGM, UIN) - Mahardhika (UIN) - Suara Perempuan dan Kesetaraan (UPN) - Gerakan Gender Transformatif (UIN) - Brondong Manis Community (individu dari beberapa SMA negeri dan Swasta di Jogjakarta). Dinamika gerakan perempuan di kalangan kaum muda intelektual ini, terutama berkaitan dengan evaluasi kemunduran gerakan perempuan secara keseluruhan, menjadi satu tantangan besar yang harus diselesaikan oleh JNPM Jogja, agar gerakan perempuan semakin berkembang khususnya di kampus dan di masyarakat luas pada umumnya.*

Tinggalkan komentar